Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Wilayah)

Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Ayat Al Wilayah)

SUMBER: Blog Analisis Pencari Kebenaran

ditulis Oleh: J. Algar

Ayat Al Wilayah
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’ (kepada Allah)” (Q.S.Al-Ma’idah ayat 55)
Ayat ini dikatakan oleh Ulama Syiah sebagai ayat yang turun kepada Imam Ali, mereka berkata “Orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya ruku” berkenaan kepada Ali yang ketika itu memberikan cincinnya kepada peminta-minta ketika beliau dalam posisi ruku’ dalam sholat.

Dan sepertinya sang penulis(saudara Ja’far) menunjukkan keraguannya tentang hal ini. Beliau berkata

Hadis-hadis tentang asbabun nuzul ayat ini adalah hadis-hadis yang periwayatnya diperselihkan atau bahkan mungkin hadis dhaif/maudhu’.

Pernyataan ini adalah tidak benar, hadis yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini memiliki banyak sanad yang diriwayatkan dalam berbagai kitab Ahlus Sunnah, sebagian hadisnya memang diperselisihkan perawinya dan dhaif tetapi sebagian lagi ada yang shahih. Oleh karena itu hadis-hadis tersebut satu sama lainnya saling menguatkan.

Dalam kitab Lubab Al Nuqul fi Asbabun Nuzul Jalaludin As Suyuthi hal. 93 beliau menjabarkan jalur-jalur dari hadis asbabun nuzul ayat ini, kemudian ia berkata ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Atau dapat dilihat dalam Edisi terjemahannya dari Kitab As Suyuthi oleh A Mudjab Mahali dalam Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Quran hal 326 menguatkan asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali. Beliau membawakan hadis At Thabrani dalam Al Awsath dan mengkritiknya karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya tetapi kemudian beliau melanjutkan keterangannya ”Sekalipun hadis ini ada rawi yang majhul(tidak dikenal) tetapi mempunyai beberapa hadis penguat di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Abdil Wahab bin Mujahid dari Ayahnya dari Ibnu Abbas. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid dan Ibnu Abi Hatim dari Salamah bin Kuhail. Hadis ini satu sama lainnya saling kuat menguatkan”.

Pernyataan Ulama Syiah bahwa mayoritas ahli hadis dan ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali, sebenarnya juga dinyatakan oleh Ulama Sunni At Taftazani Asy Syafii dalam Syarh Al Maqashid, Al Jurjani dalam Syarh Al Mawaqif dan Al Qausyaji dalam Syarh Tajrid. Bahkan Al Alusi dalam Ruh Al Ma’ani jilid 6 hal 167 mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali ra adalah pendapat kebanyakan Ahli hadis.

Saya ingin sekali meminta kepada penulis tersebut siapa yang menyatakan hadis asbabun nuzul ayat ini untuk Imam Ali adalah dhaif atau maudhu’ setelah menganalisis semua jalur sanadnya. Sekedar pernyataan dari Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah atau Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah jelas tidak kuat. Alasannya karena mereka yang saya sebutkan itu tidak menganalisis semua jalur sanad hadis asbabun nuzul ayat Al Wilayah. Mereka hanya mencacat sebagian hadisnya, seperti Ali As Salus yang hanya membahas hadis ini dalam Tafsir Ath Thabari kemudian langsung memutuskan bahwa riwayat tersebut dhaif tanpa melihat banyak sanad lainnya dari kitab lain. Apalagi Ibnu Taimiyyah yang melakukan banyak kekeliruan dalam Minhaj As Sunnah antara lain beliau mengatakan bahwa hadis asbabun nuzul ayat ini tidak ditemukan dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Al Baghawi padahal kenyataannya kedua kitab tafsir itu memuat hadis yang kita bicarakan ini.

Kemudian sang penulis(Ja’far) juga menyatakan keraguan bahwa Ayat Al Wilayah ini turun untuk Imam Ali, beliau berkata

Dalam ayat tsb sangat jelas bahwa “orang-orang yang beriman…” adalah jamak, maka bagaimana mungkin ayat itu menunjuk kepada satu orang yaitu Ali bin Abi Thalib r.a.

Disini letak kekeliruan sang penulis dimana beliau telah menempatkan subjektivitasnya dalam menilai suatu nash. Ulama Syiah Syaikh Al Musawi dalam Al Muraja’at telah menyatakan bahwa memang ada ayat Al Quran yang kata-katanya jamak tetapi ditujukan untuk orang tertentu. Saya tidak akan menukil pernyataan Syaikh Al Musawi cukuplah kiranya saya menukil pernyataan penulis sendiri dalam pembahasan Ayat Al Mubahalah

“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Q.S.Ali Imran : 61).

Tentang ayat ini penulis(saudara Ja’far) berkata

Kebanyakan ahli Tafsir menyatakan Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan Rasulullah SAW yang bermuhabalah dengan ahlul kitab nasrani. Kemudian Rasulullah mengajak Hasan, Husen, Fatimah dan Ali dalam bermuhabalah dengan orang Nasrani tsb. ‘Anak-anak kami’ mengacu kepada Hasan dan Husein, ‘Isteri-isteri kami’ mengacu kepada Fatimah Az-Zahra, dan ‘diri kami’ mengacu kepada Ali bin Abi Thalib.

Pernyataan An Nisaana yang diterjemahkan istri-istri kami atau perempuan perempuan kami adalah bersifat jamak, lalu mengapa hanya mengacu pada Sayyidah Fatimah Az Zahra saja.(perlu diingatkan bahwa dalam Shahih Muslim jelas bahwa hanya Sayyidah Fatimah Az Zahra as satu-satunya wanita yang diseru Nabi SAW untuk menyertai Beliau SAW bermubahalah). Jadi kalau pernyataan tentang ayat mubahalah ini diterima lantas mengapa mempermasalahkan Ayat Al Wilayah.
Selanjutnya saudara Ja’far menuliskan Syi’ah mengatakan bahwa penggunaan kata

“orang-orang yang beriman..dst” padahal ayat tersebut berkenaan dengan Ali dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam.
Jawabanku; Bagaimana mungkin Allah menjadikan perbuatan memberikan zakat/sedekah ketika sholat sebagai teladan yang ‘terukir’ dalam Qur’an padahal Sholat membutuhkan konsentrasi yang penuh?
.

Pernyataan seperti dimaksudkan agar perbuatan Ali yang sangat peduli dan tidak menunda-nunda membantu orang miskin padahal ia (Ali) lagi sholat dicontoh oleh umat islam, sebenarnya juga dikemukakan oleh Ulama Sunni Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasyaf ketika membahas ayat Al Wilayah. Yang ingin penulis(saudara Ja’far) sampaikan adalah bagaimana mungkin bisa dibolehkan dalam shalat padahal shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Sebelum menjawab penulis maka marilah kita perhatikan hadis-hadis ini.
“Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)

“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalat’.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)

“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-’Ash, yaitu anak Zainab putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)

“Dari Aisyah radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)

“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Seandainya kita memakai logika yang dipakai oleh saudara penulis itu maka kita akan mengatakan maka Bagaimana mungkin membunuh ular atau kalajengking, menghadang orang yang lewat, memberi isyarat kepada orang yang berbicara atau memberi salam, menggendong anak, membukakan pintu dan menarik tubuh orang ketika shalat menjadi teladan karena bukankah shalat membutuhkan konsentrasi penuh. Lantas apakah hadis-hadis itu mesti ditolak?.

Mari kita lanjutkan tulisan Beliau

Memang sangat bagus untuk tidak menunda-nunda membantu orang miskin yang butuh kepada kita tetapi sholat tidaklah memakan waktu yang lama, bukankah lebih baik jika orang miskin tsb meminta setelah sholat usai? atau jika dilihat dari sudut pandang orang miskin tsb, maka Al-Qur’an membolehkan/tidak menegur orang miskin meminta sedekah kepada orang yang lagi sholat padahal menurut saya (dan semua orang) perbuatan orang miskin tsb kurang beradab.

Apakah benar perbuatan orang miskin tersebut kurang beradab? Saya heran apakah penulis membaca sendiri hadis tentang ayat Al Wilayah ini. Bukankah pada hadis itu dijelaskan bahwa awalnya pengemis itu meminta-minta di masjid kepada beberapa orang di masjid(yang sedang tidak shalat) tetapi tidak ada satupun yang memberi. Ketika itu Imam Ali sedang shalat kemudian Beliau memberi isyarat kepada pengemis dengan jarinya yang bercincin dan pengemis itu mendekat kemudian pengemis itu mengambil cincin tersebut.

Tentu saja tidak ada yang mengatakan kalau pengemis itu langsung meminta kepada orang yang shalat. Pengemis itu mendekat ketika Imam Ali sendiri berisyarat. Bukankah memberi isyarat dalam shalat adalah hal yang dibolehkan. Seandainya juga pengemis itu langsung meminta kepada Imam Ali yang ketika itu sedang shalat apakah lantas dikatakan tidak beradab lalu bagaimana dengan Jabir bin Abdullah yang berbicara dua kali kepada Nabi SAW yang ketika itu sedang shalat atau Ibnu Umar yang memberi salam kepada Nabi SAW ketika Beliau SAW sedang shalat. Apakah Nabi SAW selanjutnya melarang mereka Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar? Tidak kok(lihat saja hadis yang saya kutip di atas). Yang perlu ditambahkan adalah Ayat Al Wilayah ini juga dimasukkan oleh ahli tafsir Sunni Abu Bakar Al Jashshash dalam kitabnya Tafsir Ahkam Al Quran sebagai dasar bahwa sedikit gerakan dalam shalat tidak membatalkan shalat dan sedekah sunah dapat dinamai zakat.

Kata-kata beliau

Syi’ah juga menyebutkan bahwa bersedekah ketika ruku’ dalam sholat itu tidak mengurangi posisi Amirul Mukminin (Ali), bahkan tindakan itu diikuti para imam sesudahnya.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata-kata ini tetapi penulis menanggapi dengan

Di sini timbul pertanyaan, “Jika tindakan ini merupakan cermin keutamaan penghulu para Imam (Ali r.a) yang diikuti oleh para imam, lalu mengapa tindakan ini tidak dilakukan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW? Juga tidak dilakukan oleh para sahabat yang lain?

Jawab saya: apakah setiap keutamaan seseorang itu harus diikuti oleh orang lain, bukankah setiap orang memiliki keutamaan masing-masing. Apakah seandainya suatu keutamaan tidak diikuti oleh beberapa orang maka gugurlah keutamaan itu?. Bukankah banyak keutamaan Imam Ali yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain.

Mengenai tafsir Al Maidah ayat 55 yang beliau jelaskan adalah penafsiran yang menyesuaikan dengan urutan ayat. Tafsir yang beliau kemukakan itu sama dengan tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Pendapat saya tentang tafsir ini boleh-boleh saja. Tidak ada masalah, justru yang jadi masalah jika kita mengabaikan banyak hadis yang menjelaskan asbabun nuzul ayat ini.

.

*********************************

ARTIKEL TERKAIT

  1. Khalifah Umat Islam Adalah Ahlul Bait
  2. Pengantar Jawaban Untuk Sdr Jakfar: Maaf, Maaf, Perhatian Sebelumnya
  3. Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Kecenderungan Sunni Dan Syiah)
  4. Jawaban Untuk Saudara Ja’far Tentang Imamah (Hadis Kepemimpinan Imam Ali)

___________________________________________________________________

******************************************************************************

UNTUK BERKOMENTAR DAN BERDIALOG DENGAN PENULIS SILAHKAN -KLIK DISINI-

*******************************************************************************

__________________________________________________________________